Eksotisme Tari Seblang Di Ujung Timur Pulau Jawa*

Text: Nuran Wibisono

Photos: Andrey Gromico dan Nuran Wibisono

Banyuwangi, kota kecil yang menyimpan ribuan jejak sejarah. Banyak budaya eksotis yang tersimpan disini, yang sekarang harus rela berkelindan dengan rok mini, celana pensil, dan segala macam produk jaman modern lainnya. Meskipun berhasil berbaur, tak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan tradisional itu makin lama makin tergerus ibarat aspal jalanan Anyer-Panarukan yang lambat laun makin tipis tergerinda oleh roda truk raksasa yang angkuh dan tak bersahabat.

Gandrung mungkin adalah salah satu budaya Banyuwangi yang berhasil mendunia. Bahkan beberapa tahun lalu sempat ada kehebohan saat Temu, seorang seniman Gandrung, karyanya “dibajak” oleh salah satu institut budaya terkemuka di dunia, Smithsonian. Karyanya saat itu dicetak dalam cakram digital dan diperjual belikan secara legal, dan sang pencipta lagu mengklaim tidak mendapatkan royalti. Ternyata saat saya mengobrol dengan mas Wendi Putranto, salah seorang wartawan Rolling Stone Indonesia, kasusnya itu lebih berupa pada ketidak pahaman sang seniman atas sistem pembayaran royalti. Saat itu, Smithsonian Institute memilih untuk membayar dengan cara flat pay, yakni royalti di bayar sekali di muka. Sang seniman yang tidak tahu menahu soal sistem-sistem yang rumit seperti itu, hanya bisa menandatangani surat perjanjian tentang royalti itu. Hal ini menjadi ironis, disaat karya besar yang seharusnya dihargai – terutama oleh pemerintah Indonesia sendiri – ternyata malah dijadikan komoditas penipuan intelektual. Siapa yang salah? Anda tentu mempunyai pendapat sendiri-sendiri.

Selain Gandrung, Tari Seblang perlahan sudah menjadi trademark budaya khas Banyuwangi. Tari ini melambangkan kesakralan, ritual pertemuan dua dunia, sekaligus sebagai rasa syukur atas karunia yang diberikan oleh sang Pencipta dan juga menjadi permohonan untuk tolak bala. Hasnan Singodimayan, salah seorang budayawan Banyuwangi mengatakan bahwa Tari Seblang pada awalnya berfungsi sebagai tari tolak bala dan pernah tercatat di arsip Camat Glagah pada tahun 1930. Namun banyak budayawan lain beranggapan bahwa Tari Seblang sudah eksis sebelum tahun 1930.

Bapak Hasnan Singodimayan Sang Tetua: Di usia yang terbilang sepuh, Bapak Hasnan masih tetap mengawal ritual Seblang agar tetap sesuai dengan tradisi lama

Pada dasarnya, Tari ini bisa dibedakan menjadi dua, yakni dilihat dari penarinya. Kalau anda pergi ke Desa Umbulsari, anda akan menemukan penari yang masih gadis remaja. Di desa ini, ritual Tari Seblang biasanya diadakan setelah hari raya Idul Fitri. Lain lagi dengan Tari Seblang yang ada di Desa Bakungan. Meski sama-sama berada di Kecamatan Glagah, penari di Desa Bakungan adalah seorang yang sudah berusia lanjut. Waktu diadakannya pun setelah hari raya Idul Adha. Ke desa kedualah saya pergi dengan Miko, backpacker-mate saya kali ini, berharap bisa menyaksikan kesakralan dan keeksotisan Tari Seblang dengan mata kepala saya sendiri .

Berangkat dari Jember pada sore hari dengan motor, kami sampai di Banyuwangi sekitar 3 jam kemudian. Sempat singgah sejenak ke rumah Azhar Prasetyo, salah seorang budayawan Banyuwangi yang menulis buku tentang sejarah batik Banyuwangi, kami lalu diantar oleh beliau ke desa Bakungan. Kami berangkat setelah adzan maghrib berkumandang.

Setengah jam dari rumah bapak Azhar, kami sampai di desa Bakungan. Di kanan-kiri jalan desa yang sudah beraspal, tampak puluhan keluarga sudah membeber tikar dan karpet serta menyantap hidangan yang sudah disiapkan sejak dari rumah, seperti layaknya saat piknik.

Di bangku VIP, tampak pula sang bupati Banyuwangi yang cantik, Ratna Ani Lestari beserta para staffnya. Acara masih belum mulai, mungkin beberapa menit lagi.

Di arena tempat diadakannya ritual Seblang ini, ada pula amben (semacam meja kecil tempat menaruh boneka nini towok, bunga-bunga yang nantinya akan dijual pada penonton, hiasan dari janur, tebu, padi hingga sesajen). Hiasan padi, tebu dan tanaman pangan lainnya ini adalah untuk melambangkan kesuburan yang patut disyukuri. Boneka nini towok, dalam beberapa kepercayaan di Jawa, adalah merupakan simbol padi dan kesuburan. Di kanan-kiri amben, tampak duduk berjejer para pemangku adat dan juga master of ceremony.

RITUAL, DEWI SRI, WANITA DAN KESUBURAN

Tari Seblang bukanlah satu-satunya tari tradisional Indonesia yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuburan tanaman yang mereka peroleh. Dalam budaya Jawa-Mataraman dikenal yang namanya upacara Bersih Desa. Pada budaya Jawa non-Mataraman, dikenal pula upacara Sedekah Bumi. Di Bugis-Makassar, ada upacara bernama Mappalili. Dalam budaya Suku Dayak Kenyah yang berada di Kalimantan Timur ada pula upacara kesuburan yang disebut Lepeq Majau. Di Bali ada upacara Mungkah, Mendak Sari atau Muat Emping Ngaturan Sari.

Simbol kesuburan dilambangkan dengan sesosok dewi cantik jelita bernama Dewi Sri. Lain daerah, lain pula nama simbol padi dan kesuburannya. Dalam budaya Jawa, ada simbol yang bernama Nini Thowok. Pada budaya Sunda, dikenal dewi bernama Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati. Pada budaya Dayak, simbol padi dan kesuburan dilambangkan dengan penokohan Bini Kabungsuan.

dewisriDewi Sri Sang Dewi Kesuburan

Tokoh Dewi Sri dalam budaya kesuburan adalah sakral. Folklore tiap daerah pun mempunyai versi yang berbeda tentang Dewi ini. Dalam folklore Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur dari air mata seorang Dewa cacat bernama Dewa Anta. Konon, saking cantiknya sang Dewi, raja para Dewa; Bathara Guru, jatuh cinta dan ingin mengawininya. Namun niat itu digagalkan oleh dewa lain dengan cara membunuh Dewi Sri dan menguburkannya di bumi. Beberapa hari kemudian, dari kuburannya muncul beberapa jenis tanaman pangan. Dari bagian kepala, munculah kelapa. Dari bagian mata, tumbuh padi biasa. Dari dadanya, muncullah padi ketan. Dari kemaluannya tumbuh pohon enau dan dari bagian lain muncullah rerumputan. Kejadian di daerah lain, hampir sama, yakni sosok sentral wanita meninggal. Lalu dari kuburannya muncul tanaman-tanaman pangan.

Bukan hanya di Indonesia, Curt Sarch sang penulis buku World History of the Dance mengungkapkan bahwa jauh sebelum Masehi, para Shaman telah menciptakan hujan dengan ritual tari gembira. Kalau anda penasaran seperti apa ghost dance atau rain dance ini, tengoklah sosok Jim Morrison saat sedang tampil di atas panggung dan dalam keadaan trance. Morrison yang terobsesi dengan budaya Indian akan menari-nari liar. Itulah ghost dance kawan.

Di suku Amazon , ada tari bernama Tari Itogapuk. Tari ini membentuk gerakan laki-laki dan perempuan yang saling bersatu, melingkari sebuah tanaman, saling menempelkan pinggul lalu sang penari perempuan digendong untuk kemudian dibawa pergi.

Ben Suharto, sang penulis buku Tayub; Pertunjukan dan Ritus Kesuburan, mengungkapkan bahwa tari ritual kesuburan selalu berusaha mencapai suatu sikap mistis tentang seksual dengan cara mendekatkan manusia berbeda kelamin atau dengan cara saling melingkari.

Tari Seblang pun, melambangkan kesuburan dengan simbol mahkota yang dipakai oleh sang penari yang dihias dengan kembang aneka warna yang melambangkan kesuburan.

Satu kesimpulan yang bisa ditarik dari sini adalah betapa wanita merupakan sosok penting dalam mitos kesuburan, baik kesuburan tanaman maupun kesuburan reproduksi.

Saya jadi ingat sebuah petikan dari sebuah naskah kuno bernama Atharvaveda yang berbunyi “Perempuan datang sebagai lahan hidup; taburkanlah benih ke dalamnya, oh para lelaki.”

***

Selayaknya ritual lain, Tari Seblang pun memiliki beberapa tahapan sebelum mencapai ritual puncak. Inilah urutan ritual yang harus dijalankan :

1. Penari Seblang dirias dan mengenakan busana tarinya. Pada bagian tubuh dan wajahnya, dibaluri sejenis tepung batu halus berwarna kuning (biasa disebut atal ) yang dicampur dengan air. Lalu sang penari pergi berjalan menuju arena dengan beberapa penyanyi perempuan dan pemilik hajat.

foto-2

<!–[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } –>

Menuju Arena: Para tetua desa menuntun sang penari Seblang yang sudah trance menuju arena tempat dia menari.

.

2. Pada tahapan kedua ini, sang penari dikenakan mahkota yang dihias beraneka bunga dengan beragam warna. Tak lupa, sang penari memegang nyiru dengan tangannya. Lalu ada seorang perempuan tua yang menutup mata sang penari dengan tangannya. Setelah itu ada sang pawang yang membakar dupa serta merapal mantra untuk memanggil dhanyang (roh penjaga desa) yang dikenal dengan nama Buyut Kethut, Buyut Jalil, dan Buyut Rasio agar memberkahi pertunjukan Seblang ini. Saat nyiru yang dipegang penari Seblang itu jatuh, maka dia sudah mulai kejiman alias kesurupan.

3. Tahap ketiga, adalah tahap pemilihan lagu untuk mengiringi sang penari. Ada kalanya, lagu yang dimainkan tidak disetujui oleh sang penari yang sudah trance ini. Kalau sang penari setuju, maka ia akan berdiri dan menari dengan gemulai berlawanan dengan arah jarum jam. Kalau tidak setuju, dia tidak mau berdiri serta memberi isyarat agar sang pengiring memainkan lagu lain. Kadang kala, disaat jeda pemilihan lagu dan sang penari beristirahat, disisipkan pula ritual sabung ayam.

foto-4<!–[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } –>

The Owners: Para pemilik ayam aduan dengan bangga menggendong ayam jagoannya masuk menuju arena aduan dengan diiringi musik gandrung.

.

foto-3

Fight For Hysteria: Dua ayam jago diadu hingga darah mengucur dan penonton berteriak histeris.

.

foto-6 Break on Through to the Otherside: Sang penari ini sudah kejiman alias tubuhnya sudah dimasuki roh halus penjaga desa yang disebut dengan dhanyang. Saat itu pula tubuhnya lalu gemulai menari mengikuti irama musik


4. Setelah ritual tari berhenti sejenak, maka ada beberapa gadis cantik dengan kebaya memegang kembang dirma yakni bunga beraneka warna yang dipercayai bisa mendatangkan berkah. Lalu bunga ini diberikan pada penonton, lalu penonton memberikan derma uang ala kadarnya.

foto-51 Kembang Dirma: Salah seorang penyanyi yang manisnya gak ketulungan, memberi bunga yang disebut dengan Kembang Dirma pada penonton, dan penonton memberikan uang sekadarnya untuk sekedar menambal biaya operasional

.


5. Tahapan ini disebut tundik dan beberapa menyebutnya Ngibing, yakni saat dimana sang penari mengajak penonton untuk ikut menari. Cara memilih penontonnya unik, yakni sang penari Seblang melemparkan sampur pada penonton. Siapa yang ketiban sampur itu harus menari bersama penari Seblang. Suasana menjadi ramai dan penuh tawa saat penonton lari berhamburan menghindari sampur yang dilempar itu. Saat ditanya kenapa lari, jawaban mereka hampir seragam, “takut”. Kawan, inilah hasil nyata dari pembodohan film horror Indonesia yang membuat orang beranggapan bahwa orang kesurupan bisa membunuh kita.

foto-8

Ngibing atau Tundik?: inilah saat sang penari melempar samplung pada penonton. Dan seringkali penonton – terutama anak-anak- lari ketakutan saat sang penari menghampiri.

.

6. Inilah titik puncak dari upacara Seblang. Saat sang pengiring memainkan lagu Candradewi yang dimainkan dengan cepat, sang penari juga berputar dengan cepat. Lalu sang penari rebah dan tergeletak menelungkup. Saat ini petugas kembali meminta derma dari para penonton.

Selepas Isya, acara pun dimulai. Para kameramen dari beberapa media elektronik sudah siap dengan kamera dan tripod. Para fotografer sudah mendapat angle yang bagus. Dan para pamong praja bertingkah over acting menghalau penonton atas nama kenyamanan ibu Bupati yang terhormat serta jajarannya yang penjilat.

***

Seusai pertunjukkan, ada satu ritual lain yang tak afdol rasanya jika tak diikuti. Yakni acara berebutan sesajen hasil pertanian yang digantung di beberapa bagian kantor balai desa. Ada durian, padi, alpukat, sirsak, pisang hingga kelapa. Saya dan Miko yang terkena euforia, langsung saja ikut berebutan sesajen itu dengan puluhan ibu-ibu dan juga anak-anak yang lincah. Saya dan Miko yang berperut buncit karena jarang olahraga, kalah gesit dan akhirnya hanya mendapat dua buah pisang. Karena tahu bakalan tidak kebagian lagi, kami lebih memilih untuk memotret acara perebutan sesajen itu.

dsc_03661Masih Ingat Pria Ini?

.

foto-7

Huuup!: Dengan sedikit melompat, anak kecil ini berusaha keras untuk bisa mengambil sirsak yang digantungkan sebagai sesajen.

.

Setelah acara berebut itu selesai, kami mengobrol dengan ibu Eko Wahyuni Rahayu, seorang dosen dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya jurusan Sendratasik (Seni, Drama, Tari dan Musik). Rupanya selama beberapa tahun terakhir, beliau rutin mengajak anak-anak didiknya untuk melihat upacara Seblang ini. Beliau ingin mengajarkan dan menanamkan pada pikiran mahasiswanya bahwa masih ada tari tradisional yang bahkan jauh lebih eksotis daripada tari modern yang lebih didominasi unsur western.

Beliau berharap dengan adanya pikiran seperti itu, tari Seblang tak akan pernah punah digilas jaman. Satu lagi yang bikin saya senyum-senyum senang adalah, gerombolan mahasiswa itu didominasi oleh mahluk indah yang disebut wanita. Dan mereka kebanyakan berparas indah ibarat Dewi Sri yang turun dari khayangan, halah! Mata saya yang sedikit ngantuk tiba-tiba menjadi terang saat melihat paras rupawan para calon seniman itu. Sayang, saya dan Miko adalah orang-orang yang ditakdirkan untuk jadi pecundang saat harus berkenalan dengan wanita. Apalagi kalau dihadapkan dengan kenyataan bahwa mereka bertampang manis sedang kami bahkan belum mandi…

.

foto-9

<!–[if !mso]> <! st1\:*{behavior:url(#ieooui) } –>

Faces of the Crowd: inilah kerumunan penonton yang menonton tari Seblang. Beberapa dari mereka berasal dari luar kota, mulai saya yang dari Jember hingga sepasang suami istri yang berasal dari Surabaya. Cari gadis mana yang paling cantik…

***

Setelah selesai mengobrol, kami pun bersiap untuk pulang. Setelah pamit dengan Bapak Hasnan, Ibu Eko dan dengan para tetua adat daerah sana, kami pun bergegas pulang menuju Jember, kota kami tercinta. Malam memang dingin, namun tiba-tiba terasa menjadi hangat saat saya berjanji pada diri saya sendiri untuk datang kesini lagi tahun depan, untuk kembali menyaksikan tari tradisional yang penuh magis ini. Sambil berjanji, saya juga berharap agar kesenian tradisional seperti ini tak akan pernah lapuk dimakan jaman, semoga…

* Tulisan ini adalah versi asli dari tulisan yang masuk di situs http://www.jakartabeat.net

5 Tanggapan so far »

  1. 1

    ieyo said,

    hai mas.. salam kenal aja. kbetulan sy cucu dr penari seblang bakungan,makasih byk uda publikasiin nenekku disini..

  2. 2

    panca said,

    wah..sangat inspiratif
    saya saja yang asli banyuwangi g pernah liat 😦
    boleh saya sebarkan link anda mas?

  3. 3

    ariflarosarch said,

    Di Banyuwangi ada dua tempat yang mngedakan tadisi seblang selain di Bakungan ada juga di desaku tercinta Olehsari, bedanya kalau di olehsari penarinya seorang gadis…

  4. 4

    […] ini : ravindata.multiply.com | Seblang nurannuran.wordpress.com & Andrey Gromico_Photo | eksotisme-tari-seblang-di-ujung-timur-pulau-jawa hatisamudera.multiply.com | Upacara_Ritual_Seblang_Olehsari hasyim.komonduya.com […]


Comment RSS · TrackBack URI

Tinggalkan komentar