Archive for Mei, 2008

Mossad or Mozart?

KISAH TOLOL HARI INI

Di suatu pagi buta, dua orang laki-laki mirip homo sedang menaiki motor tua menelusuri jalan Jawa. Di tengah kantuk yang menyerang karena mereka sama sekali belum tidur semenjak kemaren, mereka berusaha mencari sarapan karena perut yang semakin melilit. Dua laki-laki mirip monyet yang lagi garuk-garuk burung itu adalah si Miko dan Nuran yang tidak lain tidak bukan adalah pemilik blog nista ini…

Miko: Ran, Mozart iku soko endi?

Nuran: (sounds like Mossad to my ears) Israel kan…

Miko: Hah?! Mozart iku soko Israel ta? (ekspresi terkejut tak mengira Israel bisa melahirkan pemusik klasik selain para pejabat negara yang bengis seperti setan)

Nuran: Lah kan emang bener, Mossad iku agen rahasiane Israel…

Miko: (Mossad terdengar seperti Mozart di telinganya) hah?! Mozart iku agen rahasia?

Begitulah kalau dua orang tolol sedang bercengkrama. Pelajaran moral paling penting: Biasakan membersihkan kuping anda seminggu sekali…

Comments (2) »

Wawancara Dengan Wendi Putranto*

Bagian ini merupakan bagian dari Backpackingku saat aku mengunjungi Jakarta. hasil wawancaraku ini masuk di Majalah Tegalboto edisi ke XIII dengan tema Musikografi.

Bisa ceritakan awal mula Rolling Stone Indonesia (RSI)?

RSI pertama terbit tahun 2005, bulan Mei. Kita adalah majalah RS pertama di benua Asia yang mendapat lisensi itu. Waktu itu sebenarnya ada beberapa perusahaan yang sudah applied ke New York, Amerika untuk mendapatkan lisensi majalah RS. Tapi akhirnya yang berhasil dari sekian banyak itu, P.T A&E Media, itu nama perusahaannya. Pertama kali mendapat lisensi itu awal tahun 2005. setelah persiapan sekitar 5 bulan, Bulan Mei itu kita terbit. Edisi yang pertama waktu itu kovernya Bob Marley. Itu yang edisi pertama kita.

Bagaimana proses untuk mendapatkan lisensi itu?

Ada berbagai macam pertimbangan sih pastinya untuk bisa menerbitkan majalah RS. Dari mulai pertimbangan tekhnis, pertimbangan redaksional. Jadi memang akhirnya kita yang terpilih sih, kita juga gak tahu. Dan perusahaan A&E Media yang terpilih gak tau juga. Karena memang beberapa pesaingnya juga waktu itu mau mendapatkan ada Java Musikindo, salah satu yang applied. Tapi gak tau juga kenapa amerikanya sendiri menjatuhkan pilihannya ke P.T A&E Media.

Menurut Mas Wendi, seberapa besar peran media dalam perkembangan musik itu sendiri? Baik di scene local maupun internasional.

Yah menurut saya, peran media besar sekali dalam perkembangan musik di Indonesia maupun di luar negeri. Di RS, rubric musik Indonesia juga kita berikan space yang sangat lebih dari cukup. Bahwa selama ini permberitaan dalam majalah, rasionya 30-70. 70% asing, 30% musik local dalam negeri, dalam arti musik Indonesia. Di Indonesia sendiri gak banyak majalah musik yang benar-benar mengklaim diri mereka sebagai majalah musik. Mungkin baru RS, Mtv Trax, Hai juga. Tapi kalau majalah yang free music itu, kaya’ majalah gratisan yang isinya tentang musik banyak sekarang. Tapi yang dijual dan beredar nasional gak banyak. Yang pasti tujuan kita kan untuk mendukung musik Indonesia, dalam arti mempromosikan musiknya, artis-artisnya, memberitakan perkembangan industrinya. Jadi memang perannya signifikan banget.

Ini mungkin sedikit nyerempet ke arah Kapitalisme. Menurut mas Wendi sendiri, apakah benar bahwa media musik mainstream adalah kaki tangan kapitalis, seperti halnya major label? Karena mungkin sebagian besar yang dimuat di majalah-majalah mainstream adalah artis-artis atau band major yang sedang disukai pasar dan sedang ngetrend.

Dalam memahami perkembangan industri musik, dari predikatnya “industri”, memang kita melihatnya dari kacamata, bahwa semua yang berlaku dalam industri, pasti parameternya adalah uang. Jadi dalam hal ino uang itu kan capital. Yang pasti orang-orang yang punya capital besar yang bisa terjun ke industri musik. Nah kalau pertimbangan bahwa industri musik itu medianya dimiliki oleh kaum kapitalis, jadi benar, capital disini sebagai modal dan –is nya adalah sebagai pemilik modal. Untuk menerbitkan majalah ini sendiri kita harus membayar lisensi yang gak murah, mahal untuk investasi di bidang ini. Jadi kalau bukan kapitalis yang menginvest disini, saya rasa memang agak sulit sih. Karena memang yang penting, yang paling utama adalah, kalau dalam hal itu – dalam perspektif ekonominya-, kalau dalam perspektif ideologi sih, saya gak ngeliat adanya hal yang signifikan gitu. Ini purely business oriented. Bukan sebuah wacana politik dalam pemberitaan majalahnya.

Kita tahu bahwa masih sedikit sekali media yang benar-benar media musik. Dan lebih sedikit lagi media musik yang benar-benar milik penerbit local. Menurut anda, apakah itu berpengaruh terhadap perkembangan scene local? Terutama musik tradisional.

Musik tradisional ya? Mungkin yang dinamakan musik tradisional bukan berarti dia gak ada industrinya, dalam artian, disini majalah ini memang kita 100 % menitik beratkan pemberitaannya pada musik pop. Karena memang yang berlaku dalam dunia industri, etc, segala sesuatu yang bisa menembus sekat-sekat ras, suku, agama itu yang biasanya memang punya potensi untuk bisa dijual belikan di tingkat nasional. Kalau musik industri yang sifatnya etnis atau musik daerah, mereka punya industrinya sendiri juga. Tapi biasanya wilayah penjualan musiknya itu mengalami segmentasi yang lebih kecil dalam artian kalau musik-musik betawi ya akan laku di daerah betawi saja. Sunda ya akan laku di daerah Jabar dan sekitarnya. Musik-musik gamelan dsb di Jateng mungkin hanya akan berlaku di daerah sana. Papua juga begitu, ya musik daerah papua. Jadi memang lebih ke kulturnya dari musik itu sendiri, trus dari masyarakat, audiencenya akan lebih segmented karena memang sifatnya lebih etnis itu tadi.

Saya adalah pengunjung setia blog mas Wendi. Setahu saya, mas Wendi dulu kan pernah membikin dan mengelola Zine. Apa yang ada di pikiran mas Wendi ketika membuat zine itu?

Gak ada sih di pikiran saya waktu itu, yang pertama karena intinya kita, saya khususnya, ngurus atau menerbitkan majalah itu sebagai bagian dari praktek jurnalistik, kebetulan saya kuliah di Jurnalistik di FIKOM, Universitas Moestopo. Dan saya suka musik, punya temen-temen musisi underground lah istilahnya, metal gitu. Nah, dari situ akhirnya timbul ide, kenapa nggak juga mengaplikasikan disiplin ilmu saya ke dalam bentuk yang saya suka? Dalam hal ini musik. Ya udah, akhirnya menerbitkan majalah musik, tapi karena waktu itu kita gak kenal dengan artis-artis siapa aja, dan kebetulan Cuma punya temen yang ada di lingkungan tongkrongan saya, ya udah akhirnya musiknya musik yang saya suka dan yang temen-temen saya kenal, band-band metal. Edisi pertama waktu itu tahun 1996. zine istilahnya, malahan pada waktu itu belum ada istilah zine, kita nyebutnya majalah underground. Trus kita fotokopi. Lay outnya manual dengan mesin windows 3.1, keluaran ’93. saya potong, cut and paste gitu, trus transkrip sendiri, pokoknya intinya, do it yourself lah saat itu dan idenya sebenernya bagaimana caranya band-band teman saya bisa lebih dikenal orang bahwa selama ini Cuma di komunitas-komunitas musik yang kecil aja yang mereka tahu. Dan belum ada media seperti itu sebelumnya kalau di Jakarta itu sendiri. Kalau di bandung udah ada Revograms, di Malang ada Mindblast. Dan pas mereka ngeliat dan ngebaca majalah itu, ya pada ketawa “ gila, akhirnya ada juga yang ngeberitain band gue”. Ya itu lebih membanggakan. Seneng ngeliat temen-temen itu jadi seneng juga, hehe.

Besar gak pengaruh Zine itu sendiri ke perkembangan musik indie?

Pada zamannya, emang besar ya. Karena gak ada yang mau memberitakan band-band ini. Band-band yang sekarang bisa kita baca di RS, Hai atau majalah seperti Mtv Trax itu dulu gak mendapatkan tempat di majalah-majalah tersebut. Bahkan gak ada yang tahu kiprah mereka, gak ada yang tau musik mereka, bahkan gak ada yang ngerti apa sih yang mereka sedang lakukan. Jadi media-media mainstream pada saat itu emang sangat awam tentang apa yang disebut dengan gerakan bermusik secara indie. Dan mereka gak paham sama sekali lah, istilahnya. Untuk itu, bahwa akhirnya pada perkembangannya, kemudian kan 10 tahun dari ’97-an ya akhirnya mereka mulai belajar dan lama kelamaan malah dikenal gitu. Oh musiknya seperti ini, oh idealismenya kayak begini dan akhirnya semakin diterima bahwa band-band itu diliput oleh majalah-majalah besar. Tapi emang sebaliknya di media indienya sendiri yang ternyata sekarang kayaknya semakin menurun perkembangan penerbitan di indipenden itu sendiri, dalam artian ini, zine musik.

Sekitar pasca reformasi duli, 98-an, sempet tu dulu terjadi ledakan zine indie itu. Ya di Jakarta, Bandung, Yogya, Malang, Bali. Tapi gak tau perkembangannya sekarang. Setelah keluarnya desktop publishing ya, kita lebih gampang buat ngelayout, buat melakukan peliputan, orang kayaknya sudah gak suka lagi untuk menerbitkan zine. Karena sepertinya, kok sulit aja gitu kan? ngapain sih males-males, mendingan bikin yang bagus, yang berwarna, yang colorful. Akhirnya sebenarnya sih dari sisi fisiknya udah bagus sekarang. Tapi saya sendiri masih suka terganggu kalau baca kontennya, kayaknya gak digarap serius. Nulis males-malesan atau penulisnya kayaknya kesannya emang lebih mentingin fisik majalahnya daripada kontennya. Jadinya ya, gak banyak media-media zine yang berkualitas yang sekarang keluar. Di luar catalog aja gitu ya, ya catalog-katalog musik biasa. Ya kayak gitu sih saya melihat perkembangannya sih. Emang agak-agak menurun penerbitannya.

http://wenzrawk.multiply.com/photos/album/2/Rolling_Stones_Munich_Germany_Journey#41

Media berperan besar dalam hal pencitraan seorang idola. Dan media juga mengkonstruksi masyarakat dalam hal selera pasar. Dalam RS sendiri, bagaimana cara mengklasifikasikan sebuah grup band itu layak di dengar, atau band ini adalah band sampah?

Yang pasti, kalau di RS, kita ada konfrensi sesama editor. Karena majalah ini membawa spirit dari RS Amerika, Otomatis kita juga mengadopsi itu dalam artian, bahwa musik yang menurut kita bagus dan berkualitas adalah musik yang mencerdaskan, dalam artian si pendengarnya itu bisa mendapatkan sesuatu dari band itu. Dalam arti musik, lirik, penampilan, moral dari bandnya juga. Jadi kita ngeliatnya benang merah itu. Kalau akhirnya band-band yang dibilang sampah itu tadi gak masuk, menurut kita pasti karena kita ngeliat gak ada sesuatu yang beda. Pertama, dari musiknya seperti itu, dan liriknya pun seperti itu, bahkan penampilan seperti itu, dan karakter manggungnya ketika diatas panggung itu, kok gak ada yang beda? Kita ngeliat, semua monoton. Yang dijual lagu-lagu cinta melulu. Kenapa begini? Tapi emang pada kenyataannya, di pasar musik Indonesia, yang kayak gitu-gitu itu laku.

Akhirnya perusahaan rekaman ketika penjualan album lagi menurun terus tiap tahun karena pembajakan yang gak habis-habis, akhirnya mereka lebih mementingkan kuantitas disbanding kualitas. “Ya udah, kita jualan dulu lah, masalah musik bagus atau gak, itu belakangan” Cuma kalau majalah ini kan beda. Kita gak menjual album, kita menjual majalah. Ada integritas, kredibilitas, yang harus dipertahankan disitu. Karena kepercayaan pembaca kan itu kunci dari semuanya. Kalau ternyata pembacanya ngeliat, kok ikut-ikutan juga nih nulis-nulis yang kayak begini, nah itu mungkin akan menjadi boomerang nanti, bisa pada cabut kan yang beli atau yang baca. Karena kebetulan majalah ini segmentasinya kan 25-45 tahun. Jadi majalah dewasa lah boleh dibilang. Dengan pola piker orang-orang umur segitu yang sangat kritis dan bisa menilai dengan jelas bahwa,oh ini begini, oh ini begitu. Diluar dari idealisme masing-masing editor musiknya bahwa menurut kita memang band yang sekarang banyak beredar, kayak Kangen Band, Matta, ST 12, menurut saya gak menawarkan sesuatu yang baru buat industri musik Indonesia, selain mereka laku dan disukai banyak orang, itu aja.

Tapi kalau buat kita, apa sih yang menarik dari musik-musik kayak gitu? Kayaknya memang sama aja. Yang beda Cuma nama bandnya aja, dan nama personelnya, ha-ha. Yang mereka jual, yang mereka tawarkan, gak ada yang beda. Bisa ditanyakan ke band-band itu juga lho. Apa sih yang membedakan band loe dengan band yang lain? Mereka pasti bingung. Jadi emang kondisi riilnya emang seperti itu, bahwa kita harus memilih. Dari tumpukan sampah itu pasti sebenarnya ada yang bagus. Jadi gak semuanya juga sampah, khususnya yang dari galangan musik-musik independent gitu ya, yang kreativitas musik mereka jauh lebih bagus moralnya. Dan sayangnya memang ada gap, antara band indie dengan crowd-nya. Pendengar musik di Indonesia sebagian besar belum mengalami pencerahan, kalau boleh dibilang. Karena media yang menjejali mereka musik rata-rata memutarkan musiknya gitu-gitu aja. Kan popularitas band itu sangat pengaruh dari radio. Radio kan memutar konstan lagu-lagu itu seluruh Indonesia, dikirimin sample lagunya Kangen Band misal. Pasti akan dengar tuh, dan radio gak peduli juga. Ngapain mikir kualitas musik? Kan yang dicari dari radio adalah pendengar musik yang banyak, karena dengan pendengar musik yang banyak, mereka dapat iklan dari situ. Jadi ya otomatis mereka akan memutarkan lagu-lagu yang didengarkan daripada musik-musik yang gak didengarkan oleh pendengar itu sendiri. Jadi hambatannya, ada gap antara musisi indie-nya sendiri sama masyarakat. Bagaimana mereka bisa mempopulerkan band dan musik mereka juga, itu juga tantangan tersendiri bagi mereka.

Lalu hubungan antara selera pasar dengan artikel yang dimuat? Apakah selera pasar menentukan artikel yang dibuat, atau…?

Nggak. Dari kita kebijakan redaksionalnya itu otonom. Indipenden, dalam artian kita gak berkaca pada selera pasar. Malah disini kita mau mencoba menjadi pionir untuk memberitakan band yang selama ini belum dikenal secara luas. Jadi dalam artian gak menjadi tolak ukur satu-satunya bahwa selera pasar atau penjualan itu buat majalah ini. Tapi yang pasti, itu juga menjadi satu hal yang ikut menentukan. Karena biasanya band yang selera pasar itu dikenal oleh orang banyak, dan karena majalah ini sebenarnya majalah mainstream. Cuman, ternyata mainstream di Indonesia itu sendiri kan agak aneh. Yang kayak apa sih yang sebenarnya mainstream? Ya akhirnya kita mengambil kesepakatan, kalaupun kita harus menulis tentang Radja, Kangen Band atau band-band yang aneh itu tadi, pasti dengan sudut pandang yang berbeda, perspektif yang beda. Jadi kenapa band seperti Ungu bisa kita liput, tapi band seperti Kangen gak kita liput. Karena ada argumentasi sendiri di dalam bahwa Ungu, walau bagaimanpun juga mereka sudah bermusik selama 10 tahun, dan sebelum mencapai ketenaran seperti sekarang ini mereka sebenarnya musisi yang amat berbakat.

Tapi kalau diliat dari Kangen, kan mereka ini band yang baru kemaren sore. Band dalam artian, mereka gak salah ngeband dan gak ada salahnya mereka terkenal. Tapi saya lebih ngeliat ke permasalahan industri musik disini yang memang lagi mau bangkrut. Akhirnya mereka gak perduli pada kualitas musik. Secara teori, si Kangen ini sudah berhasil menggugurkan semua teori dalam industri musik. Bahwa keberhasilan itu harus didukung oleh kemampuan musikalitas yang tinggi, mereka gak punya itu. Harus didukung oleh penampilan yang ganteng. Mereka gak punya itu. Harus didukung oleh skill bermusik yang mumpuni, mereka juga gak punya itu. Tapi kenapa mereka bisa popular? Nah itu dia, factor X yang kita gak tahu sebenarnya. Bahwa mereka 100 % beruntung, itu bisa juga. Dan gak lama sih biasanya umur band seperti itu.

Lalu sebenarnya, sejauh manakah fungsi Advokasi RSI terhadap musik Indonesia yang dibajak di luar negeri? Seperti kasus penyanyi Gandrung Banyuwangi beberapa waktu lalu, yang musiknya dibajak di Hollywood.

Ah, oh ya. Smithsonian ya? Yang Jan Polski produsernya? Menurut saya, yang terjadi pada kasus Gandrung Banyuwangi, itu bukan pembajakan malah, tapi ketidak adilan dari produser musiknya terhadap si musisi. Saya dengar album ini udah laku jutaaan kopi di Amerika, Eropa dan mereka menjualnya lewat E-Bay, I-Tunes, segala macam. Nah ternyata pada prosesnya itu sendiri, albumnya laku dan si musisi ternyata Cuma dibayar flat pay, dalam artian jual putus. Mereka gak menerima royalty dari karya mereka, bahkan hak ciptanya pun belum jelas kabarnya. Nah kalau di kita sendiri, sampai sekarang memang kita belum memberitakan itu. Dari sisi advokasinya misalnya. Tapi kita ngeliatnya kasus itu sebenarnya lebih kearah ketidakadilan industri musik. Sebenarnya itu bukan industri musik. Si Smithsonian Institute itu malah lembaga nirlaba yang bertujuan untuk reservasi musik-musik etnis di daerah di seluruh dunia. Tapi ternyata kenapa sifat mereka ketika melakukan praktek bisnisnya gak adil, dalam arti, si musisinya disuruh rekaman dan Cuma dibayar sekali doang, tanpa ada penjelasan, nanti kalau albumnya laku kamu dapet royalty, dan royalty itu bisa berlaku sampai 50 tahun setelah kamu meninggal, itu gak dijelasin. Malah induk si gandrung juga sampai sekarang masih melarat.

Jadi emang agak ironis juga kalau ternyata, kok penindasnya dari orang yang sangat intelek. Bahwa sebuah institusi pendidikan seperti Smithsonian itu malah melakukan penindasan ke musisi di Negara dunia ke 3 kaya’ Indonesia. Dan ternyata albumnya dijual komersial. Sebenarnya album yang dijual komersial bukan untuk tujuan pendidikan atau edukasi mestinya dapet royalty. Tapi sampai sejauh ini kita belum ngeliat untuk memberitakan hal itu di RSI. Karena memang yang baru memahami itu masih sangat sedikit. Dan setelah dari tulisan Kompas waktu itu, seharusnya memang ada trigger lain gitu, yang lebih mensupport keberadaan itu, keberadaan si Gandrung. Kalau saya sendiri sih emang ngeliatnya itu bukan sebuah pembajakan musik, tapi lebih ke ketidakadilan, penindasan di bidang musik, karena semua itu beredarnya secara legal, jadi master rekamannya sendiri dipegang oleh Smithsonian. Dan Smithsonian mengedarkannya ke berbagai outlet penjualan di seluruh dunia. Tapi kalau pembajakan itu kan master rekamannya di pegang Smithsonian trus ada institusi lain dari label rekaman yang illegal untuk menggadakan tanpa ijin. Nah itu baru bajakan.

http://wenzrawk.multiply.com/photos/album/2/Rolling_Stones_Munich_Germany_Journey#51

Bagaimana menurut pandangan Mas Wendi bahwa media musik yang bisa menjadi trendsetter?

Kalau itu sih berlaku dengan sendirinya. Kita juga gak memungkiri kalau majalah RS itu besar karena memang di Amerika dan di seluruh dunia sendiri ini majalah yang bisa dibilang nomer satu. Karena kita melisensi, otomatis keuntungan dari lisensi itu kan kita bisa mempunyai shortcut terhadap popularitas brandnya. Kalau kita memakai nama baru, katakanlah majalah Tegalboto ini, untuk bisa dijual secara nasional pasti akan perlu waktu, karena orang gak punya image terhadap Tegalboto sebelumnya secara nasional. Nah, Karena ini majalah yang reputasinya internasional, dan kita melisensi, kita coba memotong durasi untuk mempopulerkannya dengan tinggal menyebarkannya di Indonesia. Karena kita udah punya credibility yang bisa kita jaga lah di Indonesia.

Nah, kalau masalah menjadi trendsetter, karena mungkin majalah ini (RS, red) Cuma satu-satunya di Indonesia dan gak ada alternative lain dari penggemar musik yang kelasnya advance untuk bisa memahami musik, ya akhirnya mereka look up ke majalah ini. Bahwa dari segi pemberitaan, penulisan, pemotretan, kualitas itu sangat dijaga dalam majalah ini, dari mulai foto-foto yang beredar di dalam situ juga semuanya legal. Nah majalah yang lain kalau di Indonesia gak membayar royalty untuk foto. Mereka menerbitkan foto itu bahkan kadang-kadang credit title-nya gak ada, trus mereka gak membayar royalty walaupun itu foto-foto dari luar negeri. Kalau kita gak bisa begitu karena memang ada aturannya yang berlaku di Indonesia bahwa tiap foto-foto yang ada dalam RS itu kita harus membayar royalty lagi.

Dan kalau trendsetter itu sendiri ya… sebenarnya lebih karena timnya sendiri di sini udah paham gitu, apa yang harus ditulis, apa yang harus tidak ditulis, apa yang harus didukung, apa yang jangan didukung. Jadi masing-masing editor disini udah memiliki pengetahuan musik yang cukup luas. Trus dalam menentukan sesuatu yang dimasukkan ke dalam majalah ini, kita punya standar-standar tertentu yang memang buat sebagian orang itu gak bisa dipahami. Karena agak sulit memahami, kenapa Kangen Band gak bisa masuk RS, tapi Radja bisa diliput. Sebenarnya kalau mau dilihat, Radja itu memang begitu kondisinya, mereka beda dengan Kangen Band. Bahwa mereka tetap bisa bermusik dengan baik. Yang membuat kita males kan karena tingkah laku Ian Kasela. Kayak gitu deh intinya. Dan kita sendiri menyerahkan penilaian ke orang diluar, pembaca. Gak kita yang mengklaim menjadi trendsetter, itu berdasarkan penilaian orang diluar yang udah ngebaca RS. Tapi kalau emang ada yang yang menilai begitu, ya, sepertinya itu satu bentuk apresiasi yang menyenangkan.

Dalam pandangan Mas Wendi, gimana peran media dalam hal komodifikasi? Jadi misalnya, dulu Punk adalah sebuah ideology, berhubung banyak media yang mengulas tentang punk, mulai lifestyle hingga dandanan, akhirnya banyak orang awam yang mengikuti lifestyle anak punk, mengaku-ngaku sebagai anak punk, sementara di sisi lain, mereka sama sekali tidak tahu menahu soal ideology punk itu sendiri.

Itu kecendrungannya. Ketika punk pertama kali masuk ke industri musik, pasti akan terjadi komodifikasi, akan terjadi jual beli. Bahwa dulu mungkin The Ramones, Sex Pistol pertama kali muncul pertengahan tahun ‘70an di Amerika dan Inggris, mereka sama sekali gak punya bayangan kalau gerakan bermusik mereka bisa menimbulkan isnpirasi yang sebegitu besar sampai sekarang ini. Mungkin yang dulu mereka lakukan Cuma, mereka bosen ama musik-musik yang ada, dan mereka muak dengan kondisi pemerintahan, kondisi di Negara itu, dengan pengangguran yang menggila, dengan ekonomi yang berantakan, penguasa yang tiran, ya akhirnya ada bentuk ekspresi baru yang timbuil dari mereka, dan mereka namakan itu punk. Dan dimana-mana kalau ada sesuatu yang disuka oleh orang, apalagi jumlahnya masssal, itu pasti akan ada pebisnis yang melihat potensi. Dimana ada pengusaha yang berpikir dan melihat “oh, ternyata ini ada yang suka, meski musiknya gak berskill, orang-orangnya juga anarkis. Terus statement mereka juga keras, dalam hal ini politis” akhirnya mereka berpikir, kenapa juga nggak kita komodifikasi musik yang satu ini?

Kalau secara musik, sebenarnya punk itu kan kelanjutan dari rock n roll. Yang membedakan kan Cuma lifestyle dan ideologinya, bahwa ternyata punk lebih political sementara rock n roll lebih hedon. Tapi ternyata, ya itu Cuma terjadi di tahun ‘70an. kalau sekarang ini,di luar punk-punk yang bener-bener underground yang masih eksis, semua punk yang masuk ke mainstream di tingkatan nasional, itu menurut saya sudah bukan punk dalam arti yang sebenernya. Bisa jadi mereka Cuma melihat punk hanya sebagai musik, atau punk hanya sebagai identitas. Mereka gak menggunakan punk sebagai alat untuk ( minta nutrisari 3 dong…) membebaskan buat pendengarnya. Kalau sebagai sarana penyampai pesan politik kan udah dilakukan oleh band-band seperti Marginal. Kalau dari sisi yang itu, mereka memang bergeraknya di sisi ideologis, bahwa musik yang mereka tawarkan itu menjanjikan pencerahan, istilahnya. Mereka percaya sama “Musik itu adalah senjata” mereka percaya itu.

Tapi kalau buat punk-punk yang sekarang berada di industri musik, menurut saya, mungkin mereka sudah menjadikan punk sebagai profesi, musisi. Yang membedakan mereka Cuma musik dan attitude atau lifestyle mereka. Tapi kalau di sisi perjuangannya sendiri, mereka hanya berjuang bagaimana band bisa dikenal lebih luas, lebih banyak lagi orang yang denger musik mereka. Jadi bukan sebuah perjuangan politik, bukan dalam frame itu mereka berjuang. Dan gak salah dan gak bener juga, masing-masing pihak bisa mengklaim bahwa mereka benar, mereka paling bener dan gak ada yang mau mengklaim mereka salah, yang pasti itu. Tapi yang pasti memang, semuanya, selama itu disukai oleh orang banyak, pasti punya potensi untuk menjadi komoditas, ya itu aja.

Apakah anda setuju dengan statement bahwa media sangat berpengaruh dalam hal pengkultusan idola?

Oh pasti, setuju. Dalam arti gak Cuma di bidang musik gitu ya, di bidang politik juga, si Hittler bisa menjadi sebegitu kuatnya karena Joseph Gobels. Dia kan actor propaganda nomer satunya si Hittler dengan media-media yang dia punya, dengan teatrikal yang dia punya di berbagai panggungnya Hittler. Sementara kalau di musik, otomatis gitu. Karena sejauh ini orang itu hanya bisa berkomunikasi dengan idolanya lewat majalah, akhirnya menciptakan mitos-mitos gitu kan. kaya’ mitosnya si Axl Rose. Dia itu orangnya sangat urakan, sangat demen ribut. Bisa jadi itu sebuah strategi dari manajemen mereka juga. Bahwa ternyata kalau kita udah mengenal, bisa jadi dia orang yang sangat santun, sangat baik hati dan sangat ramah. Tetapi ada bias media yang membuat pencitraan si Axl jadi begitu, negative. Dan disana sih bekerja dengan baik ya image-image kayak gitu. Tapi kalau di Indonesia sih kayaknya gak bakal lama umur band yang kayak gitu (yang mengandalkan citra negative dari infotainment, red.) tapi emang untuk mengkultuskan itu, sangat penting media. Orang gak akan bisa mencapai taraf superstar kalau dia gak dikenal siapa-siapa. Yang bisa memperkenalkan dia dengan orang kan media salah satunya. Gak Cuma majalah sih, TV, radio. Jadi emang bener statement itu.

Jadi sebenarnya produk bajakan itu berpengaruh banget ya? Ya contohnya kayak si Kangen Band yang terkenal gara-gara lagu mereka beredar di lapak-lapak penjual produk bajakan.

Betul. Itu sih yang bikin miris sebenarnya. Bahwa ternyata kok industri yang legal sekarang berkacanya ke industri bajakan. Menjadikan parameter keberhasilan penjualan album bajakan dari sisi legal. Ketika artis itu sukses (di produk bajakan), maka direkrut. Aneh itu sebenarnya. Kok industri legalnya malah takluk ama pembajakan. Tapi sebagai informasi aja, emang rekaman yang legal, sekarang beredar di Indonesia tinggal 8 %. 92 %-nya itu rekaman bajakan. Dan ini laporan tahun 2007. tahun 2008 belum ada masukan lagi. Cuma yang pasti turun, diperkirakan akan turun, lecendrungannya turus terun soalnya tiap tahun (persentase produk legal di pasaran, red.) jadi kalau pada saatnya nanti tinggal 1 % rekaman yang legal beredar di pasaran, dan 99 % yang beredar adalah bajakan, sekali lagi, yang paling menderita, selain label rekaman, ya artis-artis itu sendiri.

Musik mereka seakan gak ada harganya, karena yang paling ngenes kan sebenarnya gak ada royalty yang didapet dari situ. Semua keuntungan jatuhnya hanya ke penjualnya / pembajaknya. Sementara musisi yang menginvestasikan bakatnya, dan label rekaman yang menginvestasikan uangnya, gak dapet apa-apa dari situ. Jadi sebenarnya, yang jeleknya sih disitu, tapi disini malah menjadi parameter. Itu aneh.

Prediksi Mas Wendi soal masa depan media musik cetak jika dibandingkan dengan media musik di internet?

Selama koneksi internet di Indonesia masih lamban, kayaknya belum menjadi ancaman yang gede, ha-ha. Selama ini kan kita tau lah, koneksi internet di Indonesia, apalagi yang di daerah-daerah. Yang di Jakarta aja masih lamban, apalagi yang di daerah-daerah. Jadi internet belum menjadi saingan utama lah. Masa depan majalah musik sih masih cerah. Karena orang-orang di Indonesia juga lompatan tekhnologinya belum segila di Jepang misalnya. Mungkin disana, menerbitkan majalah bisa jadi agak-agak riskan karena internet itu sudah mencakup semuanya. Ada multimedia, audio visual dan tergantung kitanya lagi, mau denger apa, mau nonton apa. Jadi bukan media itu yang menentukan. Kalau di Mtv kan, kalau kita liat, video klipnya itu lagi semuanya. Tapi di internet kan kita bisa, music on demand, video on demand. Jadi terserah kita mau nonton apa modelnya. Jadi masa depan masih sangat cerah sih. Dan masih menjadi salah satu variable yang penting lah untuk menentukan popularitas sebuah artis atau band. Jadi… mungkin nanti, sekitar 10 tahun lagi, ha-ha-ha.

Menurut mas, seberapa pentingkah media musik asli Indonesia untuk muncul saat ini?

Sebenernya sih kalau ngeliat dari sejarahnya, majalah-majalah musik di Indonesia itu gak ada yang bertahan lama. Pada tahun 60-70 an, ada Aktuil dari Bandung. Tahun 80-an ada Hai yang menjadi rajanya. Tahun 90-an, mulai tabloid dangdut, tabloid rock, news musik, berbagai majalah gitu. Cuma yang survive sekarang, gak banyak. Jadi… kalau dibilang, itu tadi. Kalau melihat sejarahnya kok memang sejarahnya agak-agak hitem, ha-ha. Emang gak tau buat kedepannya nanti, apakah sangat penting ya? Karena ternyata kalau gak didukung brand yang bernuansa luar negeri, itu gak survive gitu. Kenapa selalu kolaps, bangkrut, tutup? Sebenarnya sebelum RS ini terbit, News Music itu sudah mengadopsi apa yang kita (RS, red.) tampilkan. Dari mulai kalau kita ngeliat cover-nya, font-nya, NM itu sangat mengadopsi RS. Tapi entah kenapa mereka gak bisa survive di tahun ke 3 atau ke 4. padahal itu memang asli Indonesia. Walaupun penampilan fisik mereka mengadopsi dari RS gitu. Emang pertimbangan-pertimbangan itu sangat masuk akal, bahwa kok bisa gak survive ya? Kenapa? Makanya akhirnya ada strategi untuk mencoba brand-nya, brand luar, trus kita apply di Indonesia. Apakah itu sukses nantinya? Yah itu nanti, 5 tahun lagi kita wawancara lagi baru ketahuan, ha-ha. Tapi yang pasti emang gak banyak yang survive sih, kalau dilihat dari sejarahnya.

Jadi emang pertimbangan-pertimbangan itu jadi factor yang gede buat memikirkan, apakah dengan nama Indonesia itu gak menjual? Dan perlu nama dari luar negeri, license dari luar negeri untuk menerbitkan majalah musik disini? Dan memang sepertinya kayak gitu, karena ternyata penjualannya bagus, image-nya bagus, jadi orang-orang Indonesia cenderung lebih mempercayai brand luar negeri. Gak tau, entah kenapa, tapi yang pasti factor kualitas sangat kita perhatikan disini.

Atau mungkin sebagian besar orang Indonesia sendiri masih belum siap dengan gaya penulisan ala Amerika yang cenderung sastrawi?

Dari amerika, kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ya mungkin lebih terpengaruh nama besar RS itu sendiri. Nama besar itu memang jadi pengaruh besar buat kita untuk membangun kredibilitas dalam waktu singkat. Tapi tanggung jawabnya ya, kita gak akan meninggalkan kualitas dari kitanya juga. Kalo artikel-artikel yang luar itu bisa sangat bombastis dan hebat nulisnya, nah kita harus ngejar itu juga. Jadi jangan sampai orang yang baca RSI kecewa. Wah, di Indonesia begini aja RS-nya? Mendingan baca RS Amerika atau Australia sekalian. Jadi ya, mudah-mudahan sih udah tercapai. Tergantung yang baca juga sih.

Mungkin pertanyaan selanjutnya ini agak lucu dan absurd, he-he.

Gak apa-apa, bebas, ayo dibahas.

Apakah mungkin suatu saat RSI membahas full tentang musik etnis atau musik yang kurang popular seperti Dangdut atau Campursari misalnya?

Gak menutup kemungkinan juga sih, tapi… nah, ini ada tapinya. Ketika tolak ukurnya itu adalah disukai orang banyak, tapi ketika disukai orang banyak, kenapa kita gak menulis tentang dangdut? Ya dari kita ngeliat, pertama itu segmen pembaca majalah ini, tingkat pendidikan mereka. Majalah ini juga bukan majalah murah, 35 ribu rupiah harganya. Kelas pembacanya juga kelas A&B. yang menjadi focus utama dengan umur antara 25-45 tahun. Jadi kita udah bisa mengidentifikasi market dari majalah ini dari situ. Apakah yang membaca RS mendengarkan dangdut? Apakah yang mendengarkan dangdut membaca RS? Kalau saya lihat, dua-duanya itu gak relevan. Dalam arti ternyata pendengar dangdut itu tidak membaca RS. Mereka membaca majalah-majalah, misalnya majalah dangdut atau Koran-koran yang sifatnya umum. Dan kalu kita menulis tentang dangdut, kok ternyata malah gak ada dampaknya juga. Jadi dari kita memang lebih fokusnya ngeliat ke bisnisnya dalam hal itu. Intinya, kita bukan gak nulis. Kalo dalam 150 album Indonesia terbaik sepanjang masa (RS Edisi Desember, Red.) kita juga masukin Rhoma Irama. Karena menurut kita, dangdut yang dihasilkan oleh Rhoma Irama itu jenius. Dia bisa mengawinkan musik rock dengan dangdut. Dan pengaruhnya gede si Rhoma Irama. Nah setelah itu, kesini-kesini kok kita gak melihat musik dangdut yang lebih variatif lagi?

Tapi kalau musik etnis atau tradisional, kalau di Indonesia, jangankan yang etnis atau tradisional, yang edisi 100 % Indonesia aja kita gak akan buat kayaknya. Kenapa? Karena tiap bulannya kita bayar royalty untuk content. Jadi isi yang dari luar negeri itu, didalam majalah RS itu, kita bayar setiap tahunnya, puluhan juta. Jadi kalau kita gak make, ya rugi, ha-ha-ha. Kita bayar royalty tiap bulan tapi gak kita pake karena harus memberitakan 100 % musik Indonesia, kan akhirnya…mendingan nggak sih… tapi kalau diliput sih nanti bisa saja. Tapi mungkin gak semuanya 100 % musik etnis. Karena jangankan yang etnik, yang pop aja kita gak bisa muat 100 % karena pertimbangan itu.

Dalam pandangan Mas Wendi, gimana tentang statement “musik gak hanya sebagai hiburan”

Ya itu, kembali lagi sih ke orangnya yang denger. Kebutuhan musik di Indonesia itu sebatas apa. Kalau bagi orang yang gila musik, pasti udah kayak sembako, musik udah sampai tingkatan taraf kebutuhan. Bahwa orang itu nanti akan ngeliatnya, wah kalo gak denger musik sehari gua bisa mati, sama kayak gak makan gak minum. Tapi kalau buat sebagian besar pendengar musik di Indonesia, kayaknya masih sebatas hiburan. Dalam arti mereka mendengarkan musik yang enak, yang simple, yang menyenangkan dan apresiasi mereka memang rata-rata masih sebatas itu. Mereka gak mendengarkan musik untuk jadi alat pembangkit semangat politik misalnya. Atau melihat musik sebagai alat yang membebaskan, melihat musik sebagai alat yang mencerahkan. Kayaknya enggak, belum. Bukannya gak ada ya, tapi rata-rata mayoritas disini masyarakat Indonesia masih seneng denger lagu dan gak setia ke Band-nya. Mereka gak perduli bandnya apa, kalau lagunya enak ya gua denger. Setelah Kangen trus ada band namanya Armada atau Merpati, kalau lagunya itu enak menurut mereka, ya pasti mereka pindah gitu. Dan Kangen akan dilupakan nantinya. Mereka akan menjadi yesterday news lah istilahnya. Yang gua lihat di Indonesia, ya perkembangannya seperti itu. Bahwa musik di Indonesia itu barus sebatas hiburan. Belum sebatas alat yang tujuannya lebih dalem dari itu, dan belum sampai pada taraf kebutuhan pokok. Ini masih, yang namanya hiburan itu kan kebutuhan yang, taut uh, sekunder apa tersier gitu ya? Belum bisa diklasifikasikan lagi.

Tapi perkembangannya mungkin nanti akan ada, karena prosesnya ini kan belum jalan. Orang belum muak aja dengerin musik-musik yang gitu-gitu aja, yang katanya sih laku, tapi setiap di eksploitasi habis-habisan gitu, itu akan membosankan pasti nantinya. Dan ini memang harus ada prosesnya untuk bisa sampai kesana dan gak gampang untuk menyadarkan. Tapi biarin aja ini berjalan, toh nanti juga kita gak tahu sebetulnya kalau banyak banget band-band yang kacangan itu diproduksi dan gak laku sebenarnya. Tapi kenapa kita gak tahu? Karena gak diekspos. Yang di ekspos kan Cuma yang berhasil doang. Setelah Kangen Band, pasti ada jutaan band yang kayak gitu sekarang. Dan dengan kompetisi yang makin ketat, makin susah sebenarnya buat mereka, band-band itu untuk timbul ke permukaan. Itu akan jadi problem sendiri nantinya kalau mereka bikin musik yang kayak gitu lagi. Tapi kalau yang kreatif-kreatif malah banyakan di Indie, malah stand out. Oh, nih beda nih, gitu. Jadi proses inovasi kayaknya lebih berjalan di musisi indie dibandin mainstream-nya. Dan kayak gitu sih kenyataannya di Indonesia. Sad But True…

* Wendi Putranto adalah salah seorang editor majalah Rolling Stone Indonesia. Juga merupakan personal manager dari The Upstairs. Pendiri zine indie pertama di Jakarta; Brainwashed. Tampil pula di film dokumenter Global Metal karya Sam Dunn. blog pribadinya di http://wenzrawk.multiply.com

Comments (2) »

Bandung Road Trip…

Sebenarnya perjalanan ini sudah berlangsung sudah lama. Berakhirnya pun juga sudah sejak lama pula. Ada alasan kenapa cerita ini terbengkalai begitu lama, tak perlu lah aku menjelaskannya secara rinci pula. Sempat juga aku berpikir tak usahlah aku masukkan cerita ini ke dalam blogku. Namun cerita backpackingku saat itu rasanya terlalu sayang kalau tidak aku masukkan ke dalam kategori escapade milikku.

Perjalananku kali ini meliputi Jember – Bandung – Jakarta – Bogor – Jakarta – Bandung – Jogja – balik ke Jember lagi. Oke, mari kita mulai dari rute pertama. Tapi karena aku lagi enggan berpanjang- panjang ria, marilah aku singkat escapadeku kali ini.

Jember – Bandung: Turis atau Backpacker?

Sebab:

Kereta Mutiara Timur menuju Surabaya telat 2 jam. Jadi saat seharusnya aku bisa sampai di Surabaya jam 16.00 wib dan masih sempat mengejar kereta Mutiara Selatan menuju Bandung, aku jadi sampai di Surabaya menjelang Maghrib dan terpaksa menaiki kereta Eksekutif Turangga.

Aku membawa 2 ekor kucing Persia untuk dua orang keponakanku tersayang.

Aku packing 2 jam menjelang keberangkatan.

Akibat:

Terpaksa mengeluarkan ongkos tambahan sebesar Rp. 80.000 hanya gara-gara kereta api menuju Surabaya terlambat. Damn! Aku sebenarnya sempat risih juga. Dandananku udah lebih mengarah ke gelandangan daripada seorang penumpang eksekutif. Yang bikin aku jadi pengen tambah marah adalah selisih uang yang cukup besar dan saat malam tiba, aku tidak bisa membeli nasi pecel hangat. Makanan restorasi? Ugh! Berat di ongkos!

Yang namanya kucing, mau kucing Persia kek, angora kek, kucing kampung kek, tetep aja tainya bau! 2 ekor kucing dari neraka ini mendadak mengeluarkan bau tak sedap saat kereta baru berangkat 10 menit dari stasiun Jember. Olala, ternyata 2 ekor kucing itu kompak untuk boker bareng! Jadilah aku merelakan kaosku (dan nanti kaos ini dibuang gara-gara dikira kain kotor) dan handukku untuk membersihkan badan kucing dan kandangnya yang kotor dan bau. Yang lebih tolol lagi adalah perbuatan si Taufik yang mandi lalu berhanduk ria memakai handuk yang kupakai untuk membersihkan tai dari si kucing itu. Hihihihi, itu akibatnya jika memakai barang orang tapi tidak bilang dulu…

Aku lupa membawa CELANA DALAMKU!!!! ANJINNGGG!!! Saat aku mengikuti pelatihan manajemen ekspedisi, kayaknya aku memang ketiduran, jadi kurang begitu menyimak bahwa seharusnya packing itu dilakukan H – 1. jadilah hanya celana dalam yang melekat di badanku yang aku bawa. Hihihihi, untung aja aku masih memakai CD, kalau aku lagi pengen maen sejuk-sejukan, aku gak bakalan pake CD, huahahaha. Aku sempet ketawa, waktu aku pulang, 5 celana dalam yang seharusnya aku bawa masih nangkring dengan imut di kasurku.

Di Bandung ini aku juga sempat membuktikan penilaian Rikian atas lezatnya Roti Cane ala Gampong Aceh. Memang lezat, namun ternyata ada yang lebih enak disbanding roti cane di tempat itu. Selain harganya lebih murah, rasa juga lebih enak. Coba pergi di Warung Mie Aceh di daerah Simpang Dago. Kalian pasti menemukan rasa yang lebih enak daripada Roti Cane di Gampong Aceh. Aku juga sempat menemukan tempat asik. Pusat penjualan kaset baru dan bekas di Bandung, tepatnya di daerah Dipati Ukur (depan pom bensin Dipati Ukur). Koleksi kasetnya lengkap, malah ada koleksi piringan hitamnya segala. Di tempat ini aku kalap memborong The Best-nya The Doors, Animal with Human Intelligence- nya Enuff Znuff, Skid Row yang Slave to the Grind, dan The Best-nya Time Bomb Blues. Aku jadi kesel lagi kalau inget selisih 80.000 itu. Jancuk! Tapi sayang, gambar tempat asyik ini terhapus karena ada masalah sama kameranya (kejadian sama waktu aku escapade ke Bali juga. Untung gambarnya bisa dibalikin lagi)

Bandung – Jakarta: I Can’t Get (No) Satisfaction

Sebenarnya ke Jakarta ini juga terpaksa. Jakarta sama sekali tidak menarik buat aku. Aku kesana seharusnya untuk menemui temanku, El Hendrie dan Semuth. Tapi ternyata keduanya sedang sibuk dan aku juga tidak mau mengganggu, jadi aku gak jadi mampir kesana. Tapi ternyata aku mendapat tugas untuk wawancara mas Wendi Putranto, salah seorang editor majalah musik Rolling Stone Indonesia mengenai masalah musik yang menjadi tema untuk majalah Tegalboto edisi XIII. Jadilah aku pergi ke daerah Kemang untuk wawancara mas Wendi (buat yang pengen tau mas Wendi seperti apa orangnya, lihat aja film documenter Global Metal)

Menaiki travel murah dari Bandung (60 ribu) kami pun berangkat menuju Jakarta. Ternyata memang sulit hidup di Jakarta. Bayangkan, 3 orang laki-laki tanggung memanggul carrier gede di punggung dan seorang wanita berkerudung memakai rok panjang yang membawa 2 tas (udah mirip TKI) harus berjejalan didalam bus yang ramai dan penuh asap rokok. 3 orang laki-laki sih sebenarnya gak masalah, yang kasihan adalah si Dyah yang wajahnya meelaasss banget.

Setelah melalui perjuangan yang panjang dan sempat kesasar segala (ini Jakarta bung!) akhirnya sampai juga kami di markas besar Rolling Stone Indonesia di daerah Ampera Raya (catat ini: nomer rumah yang sama dengan nomer kantor RSI ada 3 rumah dalam satu jalan!) sampai disana kami disambut dengan ramah. Pak Satpamnya juga baik hati. Mempersilahkan kami duduk di ruangan ber AC dan menyuguhi kami sebotol teh dan mempersilahkan kami membaca majalah RSI sepuasnya! Jadilah aku ngerasa betah disana. Mas Wendi pun sangat kooperatif, ramah dan rendah hati. Kami masuk kedalam kantor RSI yang keren (wallpapernya keren! Gambarnya mulai God Bless sampai John Lennon dan Yoko), kami melakukan wawancara yang menyenangkan, membuka wawasan dan segelas nutrisari dingin juga menambah segar wawancara saat itu.

Sepulang dari wawancara dengan mas Wendi, kami memutuskan untuk pergi numpang tidur di rumah kakak si Dyah. Dari Ampera Raya, kami pergi menuju halte bus Trans Jakarta terdekat. Buat 4 orang dari desa ini, ini adalah pengalaman pertama kalinya menaiki Busway. Ternyata emang naik Busway memang enak dan yang lebih penting, jalannya gak macet. Tapi saat itu ternyata aku sedang beruntung saja. Beberapa hari kemudian saat aku berada di Jogja, aku melihat jalur Busway yang saat ini sedang aku naiki dilalui kendaraan pribadi dan MACET! Damn! I am a lucky bastard

Sekelumit percakapan (yang membuktikan bahwa kami adalah orang desa)

Aku: (memejamkan mata…)

Togog: Ssstt!!… Ssssttt…!!! (sambil menendang kakiku)

Aku: Apaan?

Togog: Itu lho…(menunjuk sesuatu)

Aku: Apa? (masih gak mudeng)

Togog: Monas le! Monas…!!!!

Aku: *(*&*&*(^%!#*$#^$%^&*&%!@&

Tampaklah monas berdiri gagah dan angkuh di depan mata kami. Dan memang, saat itu adalah pertama kalinya bagi aku dan Togog melihat monas, bunderan HI, Patung Selamat Datang dan berbagai tempat lain yang hanya bisa aku lihat di TV sebelumnya…

Dengan menaiki bemo (pengalaman pertama kami naik bemo!) malam itu kami memutuskan untuk menginap dirumah kakaknya Dyah. Si Dyah pergi ke rumah pamannya dan si Togog pergi ke rumah kakaknya (dan akhirnya setelah liburan usai, dia dengan bangga memamerkan foto dirinya berada di depan monas). Jadilah Aku dan Taufik yang menginap di Kosan kakaknya Dyah. Jakarta memang panas, dan kami membuktikannya malam itu. Meski sudah mandi, tetap aja hawanya gerah. Satu lagi yang paling nyebelin adalah NYAMUK! Tapi panas dan nyamuk itu terhapus oleh keramahan teman-teman kakaknya Dyah yang membuatkan kami Mie Rebus dan Telur Rebus. Makasih ya mas, kita sangat terharu menerima kebaikan kalian, hehehe…

Setelah malam yang penuh dengan suara tepukan untuk membunuh nyamuk, pagi harinya aku dan Taufik pergi menuju Stasiun Kota. Kami buta sama sekali soal arah kesana. Tapi berbekal tanya sana – sini, kami berhasil sampai di Stasiun Kota dengan selamat. Disinilah tempat kami berpisah. Si Taufik sudah kangen berat dengan keluarganya di Brebes. Sedang aku? Aku masih ingin memuaskan hasrat escapade– ku yang masih menggelegak. Akan kemanakah aku kali ini?

“Mbak, KRL Pakuan ke Bogor satu…” sahutku ke mbak penjaga stan penjualan tiket…

Note: Ke Jakarta ini aku kolorless alias gak pake celana dalam, huahahahaha. Geli-geli gimana gitu! Huahahahaha!!!!

To Be Continued…

Episode Depan:

Simak Ceritaku tentang sebuah desa bernama Ciawitali di kaki gunung Bukittunggul di Bandung dan kelezatan Makaroni Panggang di Jalan Salak, Bogor. Ada juga cerita nikmatnya makan sate sambil nongkrong di depan Malioboro, Jogja…

So, see you later then…

Keep Rocking!

Comments (5) »