Akhirnya Wanita Itu Menikah…

Beberapa hari lalu,saya melihat pria itu sedang nongkrong bersama teman-teman kampretnya semasa SMA. Fahmi, salah satu dari mereka tiba-tiba berkata.

“tadi Dina dateng kerumah” katanya dengan wajah yang bangga.

Buat yang gak tahu siapa Dina itu, dia adalah kakak kelas Fahmi dan pria itu semasa SMA. Saat mereka baru selesai mengikut OSPEK (yang berakhir dengan tawuran massal dengan kakak kelas), Dina sudah menginjak bangku kelas 3.

“hah, ngapain Dina kerumahmu?” Tanya pria itu dengan terkejut.

Lalu tiba-tiba mimik muka si Fahmi berubah. Dia menjadi sedikit cemberut. Wajahnya yang jelek kini menjadi makin terkutuk. “Dina nikah boi…” sahutnya pelan. Fahmi tentu tak enak hati karena harus memberitahukan kabar itu pada sahabatnya.

Pria gondrong itu terkejut. Dina sendiri adalah kekasihnya semasa SMA.

“yang benar kau!” pria itu kaget, sedikit berteriak. Tak bisa dipungkiri rupanya, pria jelek itu masih kangen dengan Dina.

Akhirnya meluncurlah cerita dari bibir si Fahmi yang hitam gara-gara terlalu banyak menghembuskan asap nikotin itu. Ternyata si Dina telah mengadakan akad nikah pada tanggal 1 Maret lalu. Hanya saja, resepsi pernikahannya baru akan diadakan tanggal 25 April nanti.

Pria itu langsung terduduk lemas. Semangkok kolak di tangannya seperti enggan untuk disentuh. Tiba-tiba saja ingatannya melayang pada matriks waktu 6 tahun lalu, pada tahun 2003, dimana dia masih baru saja masuk ke SMA di pinggiran kota Jember.

Meski shock, pria tolol itu masih sanggup bercerita. Mau dengar ceritanya? Maka duduk manislah dan dengarkan ia bercerita…

***

Aku baru saja beberapa bulan duduk sebagai murid di SMA 1 Arjasa saat itu. Waktu itu aku asyik berbaur dengan para murid baru yang sama-sama senangnya karena akhirnya bisa memakai seragam putih abu-abu. Aih, masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan.

Saat itulah aku terkejut sewaktu ada 2 orang wanita masuk ke dalam kelasku, kelas 1.2. Satu orang dari wanita ini aku mengenalnya dengan baik. Dia Ifathul, salah seorang senior di Organisasi Pecinta Alam tempatku bernaung. Dia lebih pantas disebut sebagai lelaki yang terperangkap dalam tubuh wanita. Dia tomboy dan tangannya dipenuhi berbagai macam gelang ala anak pecinta alam. Dan kalau bicara,amboy, suaranya bisa mengalahkan orang Batak, keras bukan main.

Di sebelah Ifa, saat itu juga aku melihat bidadari. Aku tidak berlebihan…

Wanita itu bertubuh kecil, mungil. Dia memakai kerudung warna putih. Warna kulitnya putih, seputih batu pualam yang baru saja digosok. Hidungnya bangir kawan, lancip seperti paruh gagak. Alisnya adalah hal terindah yang ada pada wajahnya, tebal nan hitam, yang dengan setia meneduhi matanya yang kecil namun memancarkan seribu pesona. Dia begitu cantik. Sangat cantik.

Setelah bertanya pada Ifa, aku baru tahu namanya. Dina Safinah. Indah bukan?

Kenapa aku baru tahu kalau ada mahluk secantik ini diantara para penghuni organisasi Remas (Remaja Masjid)? Saat itu pula, aku bertekad untuk masuk Remas!

Namun ternyata, gunung lebih menarik bagiku ketimbang pelataran masjid yang teduh itu. Suara Jangkrik dan kodok yang bersautan membentuk harmoni juga terdengar lebih merdu daripada suara orang mengaji. Aku juga jauh lebih menikmati menatap matahari terbit di antara kabut rimba belantara ketimbang menatap matahari terbit disaat aku harus mengambil wudhu lalu sholat.

Singkat kata, aku tak jadi masuk Remas. Aku tetap memelihara gelang di tangan dan menjadi anggota pecinta alam. Hanya salamku yang aku titipkan pada Dina melalui Ifa.

Namun tahukah kau kawan? Kalau seorang gadis mengetahui ia cantik dan dikejar banyak pria, ia akan menjadi sedikit mengeluarkan aroma keangkuhan dan jual mahal. Salamku tak pernah ditanggapinya. Ifa pun juga dengan sadis selalu berkata

“Le, dia bisa cari pacar yang lebih ganteng, kaya, pintar. Buat apa juga dia menggubris salammu? Hahahaha!!!” dia berkata seperti itu dengan tawa yang menggema di penjuru gendang telingaku. Ingin rasanya aku menggendong Ifa lalu menceburkannya ke sungai Bedadung biar dia hanyut dan dimakan buaya putih.

Saat sang petualang menghadapi rintangan, ia tak akan pernah lari. Falsafah hidup itulah yang selalu aku pegang. Aku akan berusaha sampai dia benar-benar menolakku.

Saat aku pergi berkemah dengan teman-temanku, diantara dentingan gelas air surga yang mereka tenggak dengan nikmatnya, aku memikirkan oleh-oleh apa yang akan aku bawa buat Dina. Pagi harinya, saat semua teman-temanku sedang hangover di dalam tenda, aku pergi ke pusat perkebunan.

Di pusat perkebunan itu, di juallah beberapa varian teh hasil perkebunan itu. Jenisnya dan khasiatnya pun beragam. Mulai yang untuk menghaluskan kulit hingga untuk menambah gairah seks.

Aku memilih yang berkhasiat untuk menghaluskan kulit. Aku beli 2 bungkus besar. Untuk Dina, ya, untuk Dina seorang.

Esok harinya di sekolah, aku menunggu wanita berkerudung yang manisnya minta ampun itu. Pada saat bubaran sekolah, dia dengan sikapnya yang acuh seperti biasa melewati kelasku. Menoleh pun tak sudi ia.

Aku lalu berusaha mengumpulkan semangat. Diiringi oleh sorakan teman-teman sekelasku aku berlari mengejar Dina sambil membawa satu buah bungkusan berisi 2 bungkus teh berkhasiat itu.

“Din! Din!” aku berteriak keras hingga dilihat oleh para penghuni sekolahan.

Wanita angkuh itu hanya sedikit menoleh, lalu berjalan lagi! Semprul! Lalu aku berjalan di sampingnya. Aku berjalan kebelakang dengan wajahku menghadap dia yang juga sedang berjalan. Tak tahu pose itu? Aih, tak pernah liat film-film romantis ala Roy Marten tahun 80-an kau?

“Mau pulang Mbak?” tanyaku. Aku tak berani memanggil namanya tanpa embel-embel mbak. Dia terlalu berwibawa untuk kupanggil tanpa embel-embel mbak.

“iya, langsung pulang” jawabnya dengan wajah masih menghadap ke depan, menunduk dan mempercepat langkahnya.

“uhm, ini ada oleh-oleh buat Mbak Dina” kataku sambil menyerahkan bungkusan yang sedari tadi aku pegang di tangan kananku itu.

“apa ini dik?” dia bertanya dengan intonasi yang halus dan lembut. Itulah suara surga kawan.

Lalu aku bercerita panjang lebar soal kempingku di perkebunan teh Gunung Gambir, dan soal khasiat teh itu. Aku bercerita dengan semangat bagai seorang pendongeng yang diundang untuk bercerita dihadapan putri Raja. Sesekali dia tersenyum simpul, tanpa menampakkan giginya sedikit pun!

Tiba saatnya dia pulang, karena angkot yang dari tadi dia tunggu sudah datang. Duh gusti, ingin rasanya aku menimpuk kepala supir angkot itu dengan granat karena dia datang disaat aku belum puas memandang senyuman kakak kelas cantik itu.

Sebelum naik angkot dia menoleh padaku. Sambil memberikan senyumnya yang paling manis, dia berkata “terima kasih tehnya dik”. Saat itu pula, deretan gigi putihnya terpampang dengan indah di hadapanku.

Oh tuhan, saat itu mati pun aku rela…

***

Kejadian teh itu awal mula dari segalanya. Aku mulai dekat dengannya. kami sering ngobrol berbagai hal.

Kawan, tahukah kau, jumlah pria yang mendekatinya mungkin ada puluhan. Ada yang gantengnya naudubillah, ada yang kayanya minta ampun, ada yang alimnya gila-gilaan. Ada yang memberi Dina kerudung yang mahal. Ada pula yang membelikannya jam tangan yang juga mahal. Semua yang diberikan padanya adalah barang-barang mahal nan mewah.

Mana bisa aku membeli itu semua? Sedangkan untuk bisa naik gunung aku harus mengamen dan menjual botol-botol serta Koran bekas. Ganteng? Wajahku tak bisa diharapkan. Alim? Gimana membaca surat Al fathihah saja kadang aku lupa. Tapi aku punya cara sendiri untuk membuktikan bahwa aku tak kalah dengan pria-pria pemburu itu.

Saat aku mendaki Gunung Raung, aku dengan bodohnya menelusuri tiap jengkal puncaknya. Usaha menyabung nyawa itu tak lain hanya untuk bisa memetik bunga Edelweiss, bunga lambang cinta abadi itu.

Saat itu pertama dan terakhir kalinya aku mau memetik Edelweiss. Bunga itu aku petik hanya untuk gadis berkerudung yang selalu membelai rambutku disaat aku sedang suntuk.

Tahu apa katanya saat dia menerima bunga itu dan saat dia tahu bagaimana usahaku untuk mengambil seikat bunga itu?

“Aku gak peduli dengan barang-barang mahal yang mereka berikan. Bagiku seikat bunga ini adalah yang paling berarti. Makasih ya sayang” dia berkata itu dengan mengelus rambutku dan tak lupa memberikan senyumannya yang paling manis. Termanis di seluruh dunia…

Adalah Bande Alit yang menjadi tempat paling indah bagi kami. Saat itu ada diklat Paskibra. Dia datang sebagai senior, dan aku datang atas nama undangan dari Pecinta Alam. Buat yang tak tahu Bande Alit, itu adalah nama tempat. Lebih tepatnya Taman Nasional. Hutannya lebat dan jalannya pun rusak tak karuan. Namun Bande Alit mempunyai pantai yang luar biasa indahnya. Lelah menuju kesana pun terbayar dengan gemuruh debur ombak dan suasana yang tenang.

Di tengah malam, kami pergi ke pantai. Tak akan pernah aku lupa, saat itu bulan purnama. Langit pun hitam pekat. Tampak kontras dengan titik-titik bintang yang putih dan menyala terang. Indah sekali!

Kisah selanjutnya yang ada di pantai tak perlu lah aku ceritakan pada kalian. Tapi satu hal yang harus kalian tahu, aku tak berbuat macam-macam. Rasa sayangku tak mengizinkan hal itu…

***

Kalian tahu sifatku? Salah satu sifat dasarku adalah gampang bosan. Entahlah, beberapa orang bilang ini akibat dari kebiasaanku berpetualang dan tak bisa diam di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.

Salah seorang sahabat pernah bilang

“Boi, kau tak ditakdirkan mencintai seseorang dalam kurun waktu yang lama. Kau itu petualang. Mungkin bagimu, yang lebih menyenangkan adalah disaat kau melakukan proses yang bernama PDKT. Kau anggap dia buruanmu mungkin. Setelah dapat? Bah! Beberapa minggu saja kau sudah bosan!” dia berkata dengan logat bataknya yang unik.

“ah yang benar? Tahu darimana kau?” aku ikut-ikutan berbicara dengan logat batak.

“Le, aku udah kenal kau beberapa tahun. Aku tahu sifatmu, dari yang buruk sampai yang jelek. Sudahlah, tak usah kau pacaran. Bikin wanitamu sakit hati! Mending kau berpetualang mumpung kau masih muda!” dia menasehatiku lagi.

Dan hal itu terjadi. Wanita yang kuanggap sempurna itu pun aku telantarkan. Aku terlalu sering naik gunung dan keluar masuk hutan. Entahlah, rasanya begitu senang aku hidup tanpa ikatan yang bernama pacaran.

Luar biasanya adalah, Dina selalu sabar, disaat aku menghilang pun. Namun aku yang kurang ajar. Disaat aku kangen dia, aku selalu datang padanya. Disaat dia kangen aku, aku tak pernah ada untuk dia.

Disaat aku butuh sifatnya yang keibuan, aku datang padanya. Tapi disaat dia butuh aku, aku selalu alpha…

Terakhir aku bertemu dia adalah waktu aku datang pada seminar skripsinya. Saat melihat aku, wajahnya tak bisa bohong. Dia senang sekali melihatku. Senyumnya adalah senyum paling ikhlas dari seorang kekasih yang pernah aku lihat.

Waktu dia lulus, aku menelponnya.

“Din, jangan nikah dulu ya… tunggu aku lulus, aku akan nikahin kamu” aku berkata seperti itu.

“iya, Dina gak akan nikah dulu. Dina maunya nikah cuma ama kamu…” dia menjawab seperti itu, dan aku sangat senang mendengar dia berkata seperti itu.

Kenyataannya? Aku terlalu sibuk backpacking. Aku terlampau benci dengan yang namanya ikatan. Tak pernah sekalipun aku menghubunginya. Terakhir aku menghubunginya adalah satu hari dimana malam itu hujan, di awal tahun 2008. Aku mengiriminya sebuah puisi, lewat sms. Sejak saat itu, aku tak pernah menghubunginya lagi.

Sampai aku dengar kabar dia sudah menikah, dan resepsinya akan diadakan dalam waktu dekat ini…

Rasanya? Entahlah, sukar dilukiskan. Menyesal? Ya, aku menyesal, karena selama ini sudah terlalu banyak menyia-nyiakan Dina. Dan aku rasa Dina pantas dapat pria yang lebih baik daripada aku.

Beberapa hari lalu, aku mendapat nomer hp-nya yang baru. Aku dapat nomernya dari Fahmi. Rupanya Dina memang sengaja mengganti nomernya.

Ini betul nomernya Dina? Aku kirim sms itu pada nomer yang baru aku dapat.

Selang beberapa menit, ada balasan dari nomer itu.

Ini betul nomernya XXX? Betul rupanya, dia Dina.

Saat itu aku baru selesai mandi, masih belum sempat balas sms itu. Beberapa menit kemudian, dia menelpon.

“Assalamualaikum” suara wanita diseberang sana menyapaku. Aku hapal suara itu. Suara Dina. Masih halus dan lembut seperti dulu. Masih suara yang sama dengan suara yang membuat aku selalu jatuh cinta padanya.

“Walaikum salam…” jawabku lirih.

Akhirnya kami ngobrol beberapa lama. Akhirnya seperti bisa aku duga, dia menanyakan kemana aku selama ini.

“kamu kemana aja kok ngilang? Gak ada kabar berita… kenapa gak pernah ngehubungi aku?” Dina bertanya dengan lirih, seakan mau menangis.

“…” aku Cuma bisa tertegun.

“maafin aku ya… aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri. Aku terlalu egois. Aku masih terlalu benci dengan ikatan” akhirnya mulutku bisa mengeluarkan suara, meski pelan seperti berbisik.

“coba saja kamu gak pernah ngilang… maafin aku ya, gak bisa nikah ama kamu” dia berkata dengan suara yang sama pelannya. Ah, rupanya dia masih ingat dengan janji itu…

Akhirnya dia cerita semuanya. Ihwal pernikahannya, siapa suaminya, bagaimana sifat suaminya. Rupanya dia dijodohkan oleh salah seorang saudaranya. Umur Dina yang sudah waktunya menikah menjadi alasan kenapa dia harus menikah.

“suamimu baik?” aku bertanya padanya.

“baik… dia sabar” dia menjawab meski sedikit enggan.

“Semoga kamu bahagia ya. Maafin aku ya, aku terlalu egois. Maafin aku ya…” aku hanya bisa meminta maaf karena tak bisa menikahinya. Aku meminta maaf karena aku lupa dia 2 tahun lebih tua daripada aku. Dia adalah wanita yang harus cepat menikah. Sedangkan aku malah terlalu sering bersenang-senang.

“jangan bilang begitu. Aku jadi tambah sedih.” Terdengar isak sedih di ujung sana. Ah, apa dia lupa kalau aku tak sanggup melihat wanita menangis?

“Aku jadi inget pas kita di Bande Alit. Aku selalu ingat itu… puisimu juga masih aku simpan, karena aku senang ama puisi itu” dia sekali lagi berbisik lirih. Puisi yang kukirimkan lebih dari satu tahun lalu itu masih dia simpan dalam inboxnya. Arghhhh!! Kenapa aku baru sadar kalau dia sangat cinta aku?!

Setelah telpon ditutup, berakhir sudah hubungan ini. Dia adalah wanita yang membuatku tak mau lagi mencari pacar berkerudung. Kalian tahu kenapa? Karena aku selalu menganggap dia adalah wanita berkerudung yang paling baik, paling ideal. Tak akan pernah ada wanita berkerudung lain yang bisa menandingi Dina. Naïf memang, tapi begitulah adanya pikiranku tentang dia dan wanita berkerudung lainnya.

Tengah malam Dina sms. Mungkin sms perpisahan.

Apapun tentangmu, aku menyukaimu. Begitu pula saat kita di Bande Alit dulu. Aku menyukainya. Dan sering kali aku merindukannya. Bila rindu itu tiba, tanpa terasa menetes air mata. Dada ini sesak. Sampai saat inipun, yang kurasakan tetap sama tentangmu. Mungkinkah tanpa kusadari, aku sangat menyayangimu?

Seringkali juga aku mempertanyakan kesungguhanmu padaku. Tapi kau sering menghilang, dan tak pernah memberiku tanda-tanda tentang kesungguhanmu. Itulah yang membuatku tidak berani menaruh harapan berlebih padamu. Jika sudah begini, rasa kecewa yang ada…

Apakah selama ini kau juga merindukanku, sama seperti aku merindukanmu?

Selamanya tak akan kulupa. Sampai kapanpun. Masa kita berdua, termasuk kenangan paling indah di pantai. Tak akan bisa aku lupa. Jauh di lubuk hatiku, aku akan selalu mengenangmu dan merindukanmu.

Semoga kamu senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.

Semoga kamu juga bahagia Dina Safinah…

dscn9781

***

Sudah baca curhatan pria itu? Itu bukan kisah telenovela kawan. Itu benar adanya. Tanggal 25 April ini, pria itu akan datang pada resepsi pernikahan yang digelar besar-besaran di salah satu gedung mewah di Jember.

Tak usah bersedih kawan. Sebab kesedihan itu bikin kita terkungkung. Salamilah Dina dan Pengantin lelakinya. Jadilah pria yang jantan. Pria petualang akan selalu berusaha menjadi pria yang selalu menerima kenyataan. Jadilah “kapal” yang selalu berlayar tanpa harus berhenti karena “jangkar”…

Be strong!

12 Tanggapan so far »

  1. 1

    pyutri said,

    sodara Nuran,, kamu tu 11-12 lah ma my broder, podo2 arek PA, podo2 seneng keluyuran, en podo2 seneng gonta ganti pacar… en my broder masi sakit ati ama cewenya (yg berjilbab jg) pas sMa dulu… ckckckck… moga2 masku en kamu masih niat nikah yo samdey 😀
    smoga dapet yg terbaik boi..!!

  2. 2

    the owner said,

    hehehe, put, thanks ya 🙂

    keep writing and traveling 🙂

  3. 3

    alka wisanggeni sang penggugat said,

    hohoho…indah ceritamu kawan…luka ada tu tuk disembuhkan…

  4. 4

    leo said,

    aquarius or sagitarius.

    btw saya baca ebook kelayapan ke floresnya mas
    cool book! cool blog too! thx udah kasih bacaan yang seger! semoga jadi amal ibadah yang terus mengalir amin

    salam

  5. 5

    sulton habibi said,

    menerima suatu konsekuensi kadang terlalu berat kawan!

    tp aq suka kalmat terakhir crtamu..

    BE STRONG!!!!

  6. 6

    ciprat said,

    kisah yang sedih…. tapi mengutip dari salah satu sair di lagu AKU BUKAN PENGEMIS CINTA nya Jonny Iskandar…. begini kata nya ” patah hati bukan sifatnya lelaki..apalagi sampai nekat bunuh diri..putus cinta itu soal yang biasa..aku tak putus asa” semangat bro….

  7. 7

    woro tyas said,

    mampir ya…walopun baru baca sekilas, aku suka deh e-book “alone longway from Home”. Baru mau rencana jelajah sebagian sumatera, jadi butuh refrensi gimana menuliskannya.

    Salam kenal 🙂

  8. 9

    woro tyas said,

    Wehh…buku? semoga bisa membuat buku, tapi perjalananku pasti ga sedramatis kamu. Aku naek pesawat untuk pulang kembali ke Jogja :-). Waktuku sangat terbatas, hanya 1 minggu saja..jadi mesti hemat waktu dan tenaga. Karena aku hanya buruh, yang mesti masuk kerja

    Paling aku tulis di blog, nantilah silahkan berkunjung..

  9. 10

    bintang said,

    aku suka ceritamu, karna dalam ceritamu adalah ungkapan tulus dari lubuk hatimu.

    Meski kubaca ribuan kali tak pernah bosan ku membacanya.

    jangan dihapus ya,….

  10. 11

    cemprenk... said,

    wah..wah..ternyata menikah to??

    pean kapan lek ???

  11. 12

    bintang said,

    cerita itu masi ada,……dan gak bosen juga aku membacanya. thanks….
    jangan di hapus yaaa


Comment RSS · TrackBack URI

Tinggalkan komentar